sepercik renungan

mari dengarkan suara hati...

Kebaikan dan kesuksesan seseorang di dunia ini, tidak ditakar dengan seberapa panjang umurnya, tapi lebih kepada prestasi-prestasi amal berbobot yang dikerjakan dalam durasi umur yang menjadi miliknya.


Apalah gunanya jika diberikan jatah umur hidup puluhan bahkan ratusan tahun, tapi nilai amal shalihnya nyaris tidak ada. Tapi, betapa indahnya jika umur,walaupun tidak terlalu panjang namun nilainya sama dengan ratusan bahkan ribuan tahun karena sarat dengan kebaikan.

Berapapun umur, pasti suatu saat akan berujung pada ketiadaan alias kematian. Jika kematian adalah sebuah kosa kata yang paling ditakuti oleh semua orang, maka tidak demikian bagi orang-orang shaleh. Bagi mereka, kematian adalah kepulangan yang selalu dirindukan. Kerinduan untuk bertemu dengan sang kekasih, Rabb-nya. Kalaupun mereka takut, itupun ketakutan yang wajar, karena kematian memang mengerikan, tidak ada yang selamat dari kengeriannya.

Tapi itulah masalahnya, banyak manusia yang melupakan kepulangan yang sebenarnya. Menganggap dunia sebagai negeri kekal, dan yang kekal berupa akhirat dianggap tidak pernah ada dalam kamus kehidupannya.

Padahal, dunia ini, selalu mengajarkan kita akan kerinduan-kerinduan dan kepulangan-kepulangan kecil: pulang ke rumah, pulang ke kampung halaman, rindu berjumpa anak dan pasangan [suami/istri], rindu berjumpa ibu dan sanak saudara. Pulang-pulang kecil itu sebenarnya sebagai pengantar dan pendahuluan sebelum kita menjalani kepulangan besar, yaitu kembali kepada Allah. Kembali kepada negeri keabadian.

Negeri abadi itu semakin lama semakin dekat. Hanya ada garis tipis yang membatasi kita dengan negeri itu. Negeri ini adalah negeri kepastian, negeri yang akan menjadi panggung kehidupan untuk selama-lamanya...

Oleh karena negeri keabadian adalah sesuatu yang pasti, maka pertanyaan yang semestinya harus terngiang-ngiang dalam gendang telinga kita adalah "Di usia kita yang entah berapa, sejauh mana kita telah menempuh jalan dan seberapa banyak kita telah menabung bekal untuk hari yang pasti itu?" Ini bukan soal dimensi usia, dimana seseorang mengurutkan zaman produktivitasnya ke dalam fase yang tidak jelas; kecil bermain, muda foya-foya, lalu tua bertaubat dari dosa. Sekali lagi bukan itu.

Hidup ini hanyalah perlombaan. Perlombaan mengejar mutu dan adu cepat, dan beginilah semestinya orang-orang beriman berjalan. Betapa hidup ini hanya sekali datang, sesudah itu secepatnya pergi. Bahkan, alangkah cepatnya menghilang. Pagi datang dan segera saja disapu siang. Sore memburu dan tiba-tiba dilipat malam. Hari-hari berjalan. Terkadang terasa membosankan dan terkadang bahkan tidak bersahabat. Rutinitas berjalan dengan ritme yang beku. Jika hidup seperti itu, kemanakah kita menatap? Kemana kita hendak menuju? Yang jelas, arah hidup orang-orang mukmin sudah jelas. Bahkan sangat jelas. Yaiu negeri keabadian yang berupa surga...


Dari pengantar Pustaka Al-Kautsar
Tamasya ke Negeri Akirat

Diantara malam-malam Ramadhan ada satu malam yang disebut dengan malam Lailatul Qadar, yaitu malam yang terkenal karena keberkahannya yang besar. Al-Qur'an telah menyatakan tentang keberkahan dan keutamaannya lebih besar dari seribu bulan, bermakna bahwa malam tersebut lebih berharga daripada delapan puluh tiga tahun empat bulan. Betapa beruntungnya seseorang yang dapat memperoleh kesempatan untuk benar-benar beribadah pada malam tersebut, karena berarti dia telah mendapatkan pahala beribadat selama delapan puluh tiga tahun empat bulan dan bahkan lebih banyak dari itu. Sesungguhnya malam tersebut adalah suatu karunia dan rahmat yang besar bagi umat manusia.


Berkenaan dengan malam tersebut, dalam kitb Durrul Mantsur ada sebuah hadist yang diriwayatkan dari Anas ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Lailatul Qadar telah dikaruniakan kepada umat ini (umatku) yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya."

Mengenai alasan dikaruniakannya malam Lailatul Qadar, terdapat beberapa pendapat. Salah satu yang dikemukakan adalah bahwa Rasulullah pernah merenung keadaan umur umat-umat terdahulu yang jauh lebih panjang jika dibandingkan umur umatnya. Beliaupun merasa sedih, karena dengan umur yang lebih pendek berarti kesempatan untuk mendapatkan pahala dari beribadah menjadi lebih sedikit. Oleh karena itu Allah dengan kasih sayang-Nya yang tiada terhingga kemudian menganugerahkan malam Lailatul Qadar kepada umat ini.

Maka, marilah kita berlomba untuk mendapatkan berkah dari malam Lailatul Qadar ini dengan memperbanyak amal ibadah, terutama di hari-hari akhir bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, sehingga kita mendapatkan berkah dari malam Lailatul Qadar.

(Sumber: Kitab Fadhail Amal, dari Syaikhul Hadist Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandalawi rah.a. )

Dari Abu Hurairah ra., Nabi Muhammad saw. bersabda, "Apabila seseorang meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakan orang tuanya." (Muslim; Misykat)


Kehidupan dunia ini tidak lebih sekedar mimpi saja, sekedar kesenangan yang menipu. Kita tidak pernah tahu, kapankah maut akan datang dan kita mesti meninggalkan dunia ini untuk pergi ke suatu tempat yang kekal. Sudahkan kita menyiapkan bekal untuk menyambutnya?

Rasulullah saw. bersabda, "Tuhanku telah menawarkan kepadaku dengan menukar bukit-bukit di Mekkah menjadi emas. Tetapi aku mengatakan kepada-Nya, "Ya Allah, aku lebih suka makan sehari dan lapar pada hari berikutnya. Jika aku dalam keadaan lapar, maka aku dapat mengingat-Mu dan jika aku dalam keadaan kenyang, maka akupun dapat memuji-Mu serta bersyukur atas nikmat-nikmat-Mu."

Dari Ibnu Umar ra., Rasulullah saw. bersabda,"Tidak dibenarkan hasad (iri hati), kecuali terhadap dua orang: seseorang yang dikaruniai oleh Allah (kemampuan menghafal/membaca) Al-Qur'an, lalu ia membacanya pada waktu malam dan siang, dan seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia menginfakkannya pada waktu malam dan siang." (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i)

Dari Salman ra., ia berkata, "Pada akhir bulan Sya'ban Rasulullah saw, berkhutbah kepada kami, sabdanya, "Wahai manusia, sungguh telah dekat kepadamu bulan yang agung lagi penuh berkah, bulan yang di dalamnya Allah telah menjadikan shaum (puasa) sebagai fardhu dan bangun malam sebagai sunnat. Barangsiapa yang mendekatkan diri di dalamnya dengan beramal sunnat, maka (pahalanya) seperti orang yang beramal fardhu pada bulan lainnya. Dan barangsiapa yang beramal fardhu di dalamnya, maka pahalanya seperti orang yang melakukan tujuh puluh amalan fardhu pada bulan lainnya. Inilah bulan kesabaran, dan pahala sabar adalah surga. Inilah bulan kasih sayang, bulan saat rezeki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa memberikan buka pada bulan itu kepada orang yang puasa maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya, dan memperoleh pahala yang sama tanpa sedkitpun mengurangi pahala orang itu. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, tidak setiap kami mempunyai makanan untuk diberikan kepada orang yang berbuka puasa." Beliau bersabda,"Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi buka meski dengan sebutir kurma, seteguk air, atau sesisip susu. Inilah bulan yang awalnya penuh rahmat, tengahnya penuh ampunan dan akhirnya merupakan kebebasan dari api neraka. Barangsiapa yang meringankan beban hamba-hamba sahayanya pada bulan itu maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka. Perbanyaklah empat amalan pada bulan itu. Dua diantaranya dapat menyenangkan Tuhannya dan dua lainnya kamu pasti memerlukannya. Adapun dua perkara yang dengannya kamu dapat menyenangkan Tuhanmu ialah, memperbanyak ucapan kalimah Laa ilaha ilallah dan memperbanyak istighfar. Sedangkan dua perkara yang kamu pasti memerlukannya ialah, kamu hendaknya banyak meminta agar dimasukkan ke dalam surga dan kamu meminta perlindungan dari api neraka. Barangsiapa yang memberi minum kepada orang yang berbuka, maka Allah akan memberinya seteguk minum dari telagaku yang ia tidak akan haus hingga masuk surga." (Ibnu Khuzaimah, Al Baihaqi, Ibnu Hibban).

Bukankah segala sesuatu akan lebih baik bila ada keseimbangan? Banyak yang berpendapat bahwa usaha dunia "trade off" dengan usaha akhirat. Artinya, bahwa usaha kita untuk mencukupi kebutuhan kehidupan dunia biasanya berbalikan dengan usaha kita untuk mencari bekal untuk kehidupan di akhirat.

Cobalah kita renungkan kembali. Pemanfaatan waktu kita di dunia akan sangat mempengaruhi kehidupan kita. Seberapa banyak yang sudah kita habiskan untuk mengejar pemenuhan kebutuhan dunia? Seberapa banyak yang sudah kita habiskan untuk mencari bekal kehidupan akhirat? Sudahkan keduanya seimbang?

Sebenarnya tidaklah begitu sulit untuk menyeimbangkan keduanya. Ada pendapat yang mengatakan: apapun kegiatan kita, kalau kita niatkan untuk beribadah, akan mendatangkan manfaat dunia dan akhirat. Jadi, ada baiknya kita selalu berusaha meluruskan niat kita sebelum, saat dan setelah melakukan suatu tindakan. Bekerja bisa berarti beribadah, asalkan dalam pekerjaan itu segala sesuatu dilakukan sesuai dengan kaidah yang dituntunkan dan tidak melanggar larangan-Nya.

Mari kita seimbangkan antara usaha dunia dan akhirat. Mari kita review dengan jujur, apakah niat kita sudah "lurus"? Apakah dalam menjalankannya juga sudah sesuai aturan? Kita sendiri yang bisa menjawabnya... :-)

Manusia adalah makhluk yang sempurna. Apakah setelah kita mati kita akan "hilang" begitu saja? Wujud boleh berubah, tapi sebuah materi selalu kekal. Begitu juga manusia. Setelah mati, jasad mungkin akan "kembali" menjadi tanah, tetapi kemana perginya ruh? Apakah pernah terlintas dalam benak, ke mana kita akan "pulang"? Apakah anda percaya adanya kehidupan setelah mati? Kalaupun sudah mempercayai dan meyakininya, sudahkan kita siapkan bekal untuk kehidupan tersebut?

Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Kalau boleh diibaratkan, kita ini seakan-akan sedang berada di stasiun kereta api, menunggu datangnya kereta yang akan membawa kita pulang ke tempat asal kita. Apa yang seharusnya kita lakukan? Tentunya sambil menunggu kereta, kita sebaik mungkin berusaha menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan kepulangan kita itu. Itu yang secara logika masuk akal, karena tujuan kita adalah "rumah", stasiun hanya perantara. Tapi apa yang sebagian besar dilakukan orang? Bukannya kita menyiapkan bekal untuk kepulangan kita, malahan kita sibuk "menghias" stasiun itu. Padahal kita tahu, kita tidak akan tinggal lama di stasiun. Bahkan saking asyiknya kita menghias dan menikmati suasana stasiun, saat kereta yang akan kita naiki tiba, kita jadi kaget dan merasa tidak siap serta enggan meninggalkan stasiun. Itulah gambaran kecintaan kita akan kehidupan di dunia. Konyol sekali bukan?

Akankah kita terus melakukan kekonyolan tersebut? Kalau kita sekarang mulai menyadari kekonyolan itu, belum terlambat untuk memperbaikinya. Mari menyiapkan diri untuk "kepulangan" kita mulai dari sekarang. Karena kita tidak pernah tahu, kapan "kereta" itu akan datang...